Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita-berita seputar runtunan kecelakaan kerja pada pekerjaan konstruksi yang tidak sedikit menelan korban jiwa. Terakhir kecelakaan yang menyebabkan kematian terjadi pada sebuah proyek rumah susun Pasar Rumput pada akhir pekan lalu. Tarminah, seorang perempuan yang sedang berada di sekitar proyek rumah susun tersebut, tewas tertimpa besi hollow sepanjang 3 meter. Demikian berita yang dilansir sebuah harian nasional. Kita pun terkejut dengan adanya berita tentang pernyataan dari seorang pimpinan kontraktor besar milik pemerintah, tentang pengakuannya bahwa demi meraup keuntungan besar perhatian terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terabaikan. Miris. Mengingat perusahaan kontraktor sebagai peran utama pada pekerjaan konstruksi justru seharusnya menjadi pelaku terdepan dalam fungsinya sebagai pembuat kebijakan, pelakasana dan sekaligus pengawas di lapangan tentang K3 ini.
Dari berbagai data-data laporan statistik kita bisa mengetahui bahwa angka kecelakaan kerja tertinggi terjadi pada sektor konstruksi. Tidak ada perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Jepang sebagai salah satu negara maju pun, mempunyai angka kecelakaan kerja tertinggi pada sektor ini. Akan tetapi dari sisi angka, Indonesia sebagaimana negera-negara berkembang lainnya, masih mempunyai angka kecelakaan kerja sangat tinggi. Menurut laporan yang dirilis BPJS, pada tahun 2016 terjadi kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan 2382 orang meninggal dan 50 persen lebih terjadi pada sektor konstruksi. Artinya tidak kurang dari 1500 orang meninggal selama 1 tahun pada tahun 2016 pada sektor ini. Sedangkan di Jepang berdasarkan laporan Kementrian kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan Jepang, pada tahun yang sama terjadi kasus meninggal akibat kecelakaan kerja pada bidang konstruksi sebanyak 304 orang dari total 917 orang akibat kecelakaan kerja secara keseluruhan di berbagai bidang,
Secara umum kecelakaan bisa terjadi karena dua faktor : kondisi tidak aman (unsafe condition) dan perilaku tidak aman (unsafe act). Kejadiannya bisa terjadi karana salah satu faktor dari kedua faktor tersebut atau gabungan keduanya. Sebagai contoh, sebuah jalan yang banyak berlubang adalah kondisi tidak aman, di mana dapat menyebabkan kecelakaan pengendara yang lewat di atasnya, sehingga perlu perlakuan yang lebih jika berkendaraan di jalan biasa. Bila tidak, akan terjadi kecelakaan. Sebaliknya kecelakaan akan terjadi walaupun kondisi jalan bagus, karena berperilaku tidak aman dengan berkendaraan ugal-ugalan atau kebut-kebutan, sehingga kemungkinan terjadi kecelakaan terjadi akan meningkat. Atau gabungan kedua faktor tersebut, kondisi tidak aman dan berperilaku tidak aman, ugal-ugalan pada jalan penuh berlubang, akan semakin meningkatkan kemungkinan terjadi kecelakaan.
Setidaknya ada dua tinjauan aspek ketika kita membahasa masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini.
Pertama, aspek tataran kebijakan dan manajemen. Pada tataran ini, K3 adalah hasil dari kebijakan negara, dalam hal ini pemerintah, dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, instruksi menteri dan lainnya. Di negara kita, ada undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja Khusus untuk K3 pada sektor konstruksi ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Dan peraturan perundangan lainnya yang dibuat untuk menjadi alat kerja agar tercipta suasana kondusif dan mengusahakan agar tidak terjadi kecelakaan serta sekaligus memberikan rasa aman kepada para pekerja karena suasana kondusif tadi. Pada perundang-undangan secara umum tentang K3 ini setiap negara mempunyai perundang-undangan dan peraturan-peraturan tidak jauh berbeda. Perbedaan terjadi pada poin-poin detail penjabaran aturan-aturan tersebut. Ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan lain yang bersangkutan yang menyangkut ketersedian sarana dan prasarana yang keadaannya bisa berbeda untuk setiap negara.
Pengalaman menjelaskan bahwa perbedaan mencolok terjadi pada tahap pengawasan pelaksanaan perundangan-undangan dan peraturan-peraturan tersebut. Harus diakui bahwa di negara kita pengawasan dari semua peraturan-peraturan tentang K3 belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan baru sebatas formalitas, sehingga tidak memberikan perubahan pada penurunan angka kecelakaan kerja. Dalam hal pelaksanaan dan pengawasan K3, kita bisa belajar dari negara Jepang. Di Jepang, Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menurunkn angka kecelakaan. Ini dapat dimengerti karena apabila dijumpai pelanggaran ataau ketidaksesuaian kondisi di lapangan dengan peraturan-peraturan K3, disnaker ini akan memberikan penilaian buruk yang nantinya akan dilaporkan kepada pemerintah. Dan pada ujungnya pemerintah akan memberikan rapor merah yang menjadi pertimbangan untuk diperbolehkan untuk mengikuti proses lelang atau tidak untuk proyek serupa di masa yang akan datang. Atau sidak-sidak lainnya dari pemerintah sebagai pemilik proyek itu sendiri yang apabila ditemukan kejanggalan dalam hal K3 ini, proyek bisa diberhentikan diikuti dengan keharusan memberikan laporan resmi tentang kecelakaan yang terjadi di depan media masa dan keharusan membuat laporan tentang perbaikan dan paparan usaha penanggulangan agar tidak terjadi kembali apabila terjadi kecelakaan. Sidak dalam arti sebenarnya inspeksi mendadak dan tidak ada unsur-unsur formalitas.
Kedua, aspek tataran praktis di lapangan. Pada tahap ini aktifitas K3 lahir dari kebijakan-kebijakan perusahaan yang mengacu pada aturan-aturan pemerintah tadi dan dijabarkan lagi lebih detail oleh pimpinan proyek disesuaikan dengan visi dan misi proyek. Dalam pelaksanaan sebuah pekerjaan pada suatu proyek, ada sesuatu yang disebut method statement. Method statement ini memuat instruksi tentang rencana kerja dan metoda kerja yang dipakai. Di dalamnya lebih detail dijelaskan detail tahap-tahapan pekerjaan dan bagaimana mengoperasikan alat apabila menggunakan alat dan spesifik bahan-bahan atau material yang digunakan. Semuanya ditujukan untuk menjaga keselamatan dan keamanan dalam bekerja disamping tentunya untuk tetap menjaga kualitas hasil pekerjaan itu sendiri. Penyidikan pada setiap kasus kecelakaan kerja, bisa diawali dari pembahasan method statement ini. Kesesuaian metoda dengan pelaksanaan di lapangan, tahap-tahap pengerjaan sampai pengecekan kondisi harian dan seterusnya.
Pada pelaksanaannya, K3 adalah sebuah aktifitas disadari yang diatarbelakangi oleh pemahaman tentang perundang-undangan dan peraturan-peraturan untuk menciptakan suasana aman dalam bekerja. Pemabahasannya tidak hanya terhenti pada tahapan seminar, workshop, talk show dan sertifikasi. Tapi harus berlanjut pada praktek di lapangan. Di Jepang, kita tidak akan pernah menjumpai sertifikasi secara khusus tentang K3. Karena untuk K3 pada sektor konstruksi misalnya, sudah terwakili oleh sertifikasi insinyur sipil dengan berbagai level yang memuat materi K3 di dalamnya. Itu sebabnya pula tidak ada pemisahan pekerjaan antara pekerja safety tersendiri dari para insinyur sipil, artinya seorang ininyur sipil pada prakteknya di lapangan adalah pengawal, pengawas dan pelaksana K3 itu sendiri.
Baik pada tataran kebijakan ataupun pada tataran praktis di lapangan, kita bisa belajar kepada Negera Jepang, negara yang pemerintahannya memberikan perhatian serius untuk permasalahan K3 ini. Pengawasan yang ketat beserta pemberian sanksi-sanksi yang berat apabila terjadi pelanggaran, sehingga pentingnya K3 ini betul-betul disadari oleh para pelaku pekerjaan pada sektor konstruksi ini dan pada akhirnya akan tercipta suasana kerja yang kondusif dan aman. Pentingnya K3 ini jauh melebihi nilai rupiah yang diraup dari keuntungan proyek konstruksi, berapapun besarnya. Karena nyawa tidak bisa diganti dengan nilai rupiah sebesar apapun.
Filed under: Opini | Leave a comment »